Mungkin diantara anda yang berasal
dari Jawa atau Sunda pernah mendengar bahwa ada sebuah larangan menikah
antara Sunda dengan Jawa atau sebaliknya. Jika berani melanggar larangan
tersebut maka hidupnya tidak akan bahagia, susah, tidak awet, dan jauh
dari rezeki. Sampai saat ini mitos itu masih dipercayai oleh masyarakat
kita. Lalu sebenarnya dari mana mitos itu berasal ? Mengapa hal tersebut
dilarang ? Untuk itu pada postingan kali ini Kumpulan Misteri Dunia
akan mengungkap Mitos Asal Usul Dilarangnya Menikah Sunda-Jawa tersebut.
Sumber : http://tapakurang.wordpress.com/
Saya mencoba mencari literatur yang menuliskan tentang asal usul mitos larang perkawinan Sunda-Jawa
itu, Namun tidak ada satu pun literatur yang menjelaskan hal tersebut.
Setelah banyak bertanya kesana kemari maka mungkin ini adalah salah satu
jawaban yang menurut saya paling masu akal dengan melihat latar
belakang sejarah yang ada. Konon berdasarkan info yang saya dapatkan
dari pakar sejarah, mitos itu diduga akibat terjadinya tragedi perang
bubat.
Tragedi Perang Bubat berawal dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin
memperistri putri Dyah Pitaloka atau Dewi Citraresmi dari Negeri
(Kerajaan) Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut
karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara
diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging
Prabangkara.
Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dan menjadikannya
sebagai permaisuri, salah satu alasannya yang kuat adalah didorong
alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda.
Atas restu dari keluarga Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat
kehormatan kepada Maharaja Prabu Linggabuana untuk melamar Dyah
Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.
Meskipun terjadi perdebatan di antara para bangsawan dan petinggi
kerajaan, karena tidak sepantasnya keluarga perempuan datang ke keluarga
calon pengantin laki-laki, namun Maharaja Linggabuana dengan hati yang
bersih tetap berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan
diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke
Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sekitar
90 prajurit.
Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Majapahit Gajah Mada
untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa
yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari
berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya
Kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan untuk menganggap bahwa
kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk
penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit.
Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan
sebagai calon pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan
pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk
sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah
Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Versi lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah
dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi.
Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sebagai permaisuri,
sedangkan Dyah Pitaloka hanya dianggap tanda takluk.
Konon, pihak Kerajaan Sunda tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit
hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai tanda takluk. Kemudian terjadi
insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.
Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan
Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk
memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan
karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah
mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam
Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan
kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.
Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan
pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan
pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan
menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir
dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta
segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.
Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka
melakukan belapati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan
negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan
bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika
kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela
harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi
kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau
diperbudak.
Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat
peristiwa Bubat ini, hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi
renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan
kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya
dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu
berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang
Mahaprabu Hayam Wuruk.
Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan
diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam
hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di
kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti
luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah
dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak
boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian
ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi
orang Jawa.
Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka
untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan
dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga
Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya)
karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya,
raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih
Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
Raja Lingga Buana dijuluki ‘Prabu Wangi’ (bahasa Sunda: raja yang harum
namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya.
Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal
dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu
Wangi.
Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan
masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian
berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku
Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara
lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu
kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, dan juga di beberapa kota
di Jawa Barat, tidak ditemukan jalan bernama ‘Gajah Mada’ atau
‘Majapahit’.
Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia,
kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya
yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
Nah, demikianlah fakta sejarah yang menghinggapi mitos dilarangnya menikah orang sunda-jawa.
Kalau menurut saya hal tersebut diyakini adalah mungkin untuk mencegah
terjadinya perang bubat itu tidak terjadi lagi. Tapi terserah bagaimana
persepsi anda yang menanggap cerita diatas.
Sumber : http://tapakurang.wordpress.com/